Instagram

Thursday, November 28, 2019

Mendengarkan

Pada bulan November ini, saya banyak mengalami hal-hal baru yang tak terduga. Dari pengalaman ini, saya mencoba untuk merangkumnya. Dan ini hanyalah pendapat dan pandangan saya. Bukan untuk 'dibenarkan' atau 'disalahkan'.

Pada tanggal 19 November 2019, saya berkesempatan mengikuti rapat di salah satu kementrian. Jujur, rapat ini 'bukan saya banget'. Hahaha. Tapi karena diharuskan untuk berangkat, maka saya meneguhkan hati dan pikiran untuk bisa mengikutinya. 

Memang segala sesuatu itu ada balance-nya. Positif dan negatifnya. Positifnya adalah, saya jadi punya pengalaman bagaimana situasi saat rapat di kementrian, bertemu dengan para 'pakar' di bidangnya, bertemu dengan para 'cendekia' (Doktor, mungkin Profesor), sedangkan saya, hanya kroco mumet, instruktur receh yang 'berbicarapun saya sulit' (ikutan iklan).

Daaann, untuk negatifnya (saya merasa kalau hal ini negatif, mungkin untuk orang lain, belum tentu), adalah, kebanyakan dari peserta rapat seperti tidak memahami apa yang disampaikan oleh peserta sebelumnya. Mereka kebanyakan lebih dahulu memprotek (defensif) dirinya atau unitnya atau apalah, saya pun tak paham. Mereka tidak mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan. Sebelum selesai, mereka sudah dengan mudah membuat kesimpulan dan kemudian menyerang. Apakah memang kebanyakan rapat berjalan seperti itu? Saya pun tak paham.


Lalu, yang masih hangat (baru beberapa hari ini) adalah, viral-nya berita mengenai artis AM yang dihujat karena wawancaranya dengan acara di luar negeri. Kalau saya pribadi sih merasa tidak ada yang salah dengan wawancara tersebut (durasi 27 menit). Dia hanya menyampaikan kebenaran. Bukan salah dia juga kalau dia terlahir dengan darah seperti itu. Tidak ada juga dia mendiskreditkan negara ini. Pertanyannya, sudahkah para penghujat tersebut mendengarkan dengan baik seluruh interview tersebut?

Tidak bisakah terlebih dahulu mendengarkan dengan seksama? Saya rasa, kalau setiap orang mau mendengarkan, apalagi mau 'standing on someone's shoes', pasti orang-orang tersebut akan mempunyai perspektif berbeda dalam memandang setiap permasalahan, tanpa terburu-buru membuat kesimpulan, mengkotak-kotakan, lalu menghakiminya.

Di lain kesempatan, saat saya terbang dari Jambi ke Jakarta, saya duduk sederet dengan seorang bapak. Awalnya, dia menyapa saya karena dia ingin duduk di seat saya. Tapi dengan sopan saya jawab : 'kita duduk sesuai seat dulu ya pak'. Dan bapak tersebut mau mengerti, sambil berkata :'iya, takutnya nanti di sebelah saya (sisi satunya), penumpangnya wanita'. Singkat cerita, akhirnya kami tetap duduk sesuai seat kami masing-masing. 

Beberapa saat setelah take off, bapak tersebut kembali membuka pembicaraan. Dan yang lucunya, saya itu biasanya paling malas untuk making conversation dengan orang tidak dikenal. Tapi kok sama bapak ini, saya menjawabnya dengan santai. Dari pembicaraan kami, saya tahu bahwa bapak ini bukan orang sembarangan. Secara, dia kenal dengan bapak lainnya yang di seberang gang kami, yaitu bapak Marzuki Usman. Sedangkan saya, ingat pun tidak, kalau bukan bapak tersebut yang bilang, hahaha, saya parah.

Saya banyak mendapat pelajaran dan pandangan berbeda setelah berbicara dengan bapak ini. 'Jaman milenial ini, jangan ada lagi senior-junior. Kalau mau negara ini maju dan ada perubahan ke arah yang lebih baik, maka setiap orang harus mau mendengarkan, harus berani menyampaikan ide, harus berani dan mau dikoreksi. Karena, saat ada Senioritas, maka Junior akan enggan untuk menyampaikan ide-ide, karena ter-barikade oleh senioritas, padahal junior mempunyai ide yang baik. Lalu yang senior merasa mempunyai kekuatan untuk memboikot ide tersebut. Jadi jalan di tempat deh, ga maju-maju'.

'Lalu, ada juga orang-orang yang hanya tahu 50% dan orang-orang yang memang tahu 100%. Orang-orang yang tahu 50% ini akan bertingkah laku seperti tahu 100%. Bagaimana cara menambah yang sisa 50% nya? Ya dengan cara marah, defensif, dan bahkan menyerang'. Hahahaha, terjawab sudah kegundahan hati yang saya rasakan saat saya selesai mengikuti rapat di kementrian yang saya sebutkan di atas. 

Memang tidak mudah untuk bisa mendengarkan dengan baik, karena pada hakikatnya, manusia itu lebih senang didengarkan daripada mendengarkan, lebih senang dipuji daripada memuji, dan manusia itu ingin selalu menjadi yang utama. Tapi kalau semuanya tidak mau berusaha, maka tidak akan ada kemajuan. Presidennya sekarang hanya S-1, menterinya bisa ada yang S-3, tapi yang S-1 mempunyai ide-ide yang milenial. Menterinya cuma S-2, tapi pembantunya ada yang S-3 bahkan profesor. Tapi sang mentri mempunya visi yang milenial. Nah, apakah akan terus terpaku dengan senioritas, dan hanya bisa marah untuk mengisi sisa 50% tadi?

Kita doakan semoga akan ada perubahan baik dalam setiap aspek kehidupan kita, baik dalam pekerjaan, berumah tangga, bersosialisasi, dan bernegara.

*Terima kasih Pak  (Dosen UNJA, Staff ahli BRG, saksi ahli) untuk diskusinya.

No comments: