Instagram

Wednesday, September 16, 2009

PEROKOK OH PEROKOK


PEROKOK OH PEROKOK
Perjalanan pulang malam mini benar-benar perjalanan yang penuh perjuangan. Legaaaa banget akhirnya bisa sampai di rumah.
Seperti biasa, hari ini aku mengajar di taman surya sampai pk.18.30. Yang tidak biasa adalah, pada saat waktunya pulang, my soulmate menelepon dan memberitahukan bahwa doi tidak bisa menjemput diriku. Sedih sih, tapi apa boleh buat. Pekerjaannya di kantor menumpuk. Maklum, sudah mau libur hari raya.
Singkatnya, aku pulang dengan menggunakan kendaraan umum. Dimulai dari menunggu angkot di taman surya. Dari menunggu dengan perasaan santai tapi berharap, sampai akhirnya sudah tidak ada perasaan apa-apa, itu angkot ga muncul-muncul. Akhirnya aku putuskan mau cari ojek. Sebenarnya aku malaass sekali untuk naik ojek. Pertama, lebih mahal memang. Tapi sepadan karena waktu tempuh lebih cepat. Kedua, mereka sering sembarangan mengendarai motornya. Aku jadi takut jatuh dan deg-degan. Itulah kenapa aku tetap cinta angkot.
Di saat-saat kritis aku mau cari ojek. Eh, tiba-tiba terlihatlah sesosok bentuk kendaraan minibus, berwarna merah pula. Duh, senangnya. Tapi ternyata saudara, angkot itu mau pulang dan bukan angkot trayek di daerah itu. Yah, gigit jari lagi. Tapi puji Tuhan, ga lama berselang, di belakang angkot pertama tadi muncul juga angkot tumpanganku. AKhirnya aku naik angkot tsb. Total waktu menunggu lebih kurang 35 menit.
Perjalanan setelah itu juga bukanlah perjalanan yang menyenangkan. Angkotnya ternyata isi bensin dulu, belum macet yang super heboh dari taman palem ke cengkareng. Pembangunan fly over, plus orang belanja lebaran, plus kendaraan, plus debu, membuat semakin berwarna perjalanan dengan angkotku tercinta.
Akhirnya sampailah diriku di perempatan cengkareng. Lalu aku lanjut untuk naik angkot berikutnya. Di angkot ini sih ga terlalu aneh dan ajaib. Tapi angkotnya seperti melayang-layang. Jalannya ga mantep. Ya sudahlah, aku nikmati saja. Dan tibalah aku di perempatan mal puri. Lalu aku berganti kendaraan menggunakan kopaja.
Sebelum aku naik kopaja itu, ternyata salah satu kopaja yang lain sudah memindahkan penumpangnya ke kopaja yang akan aku tumpangi. Alhasil, penuhlah kopaja tsb. That’s ok. Yang tidak ok adalah, ada kopaja berikutnya yang juga memindahkan penumpangnya ke kopaja yang aku tumpangi. Total, dua bus yang berisikan penumpang telah berpindah ke kopaja yang aku tumpangi. Kebayang ga gimana riuhnya di dalam bus. Mungkin seperti ayam atau kambin yang mau dibawa ke tempat pemotongan. That’s ok. Itulah resikonya pengguna angkutan umum. Walaupun sebagai penumpang sih aku pengennya angkutan umum itu bisa seperti angkutan umum di singapur or di Australia. Tapi itu sih mimpi di siang bolong. So, just live with it. Terima nasib.
Pada saat aku naik bis tsb, memang ada penumpang yang merokok dengan perasaan bersalah, kalo boleh dibilang begitu. Karena kalau diperhatikan, doi ga nyaman merokok, it’s obvious. Tapi mungkin karena sayang rokoknya cuma punya sebatang dan ga bisa beli lagi or karena tanggung, akhirnya doi tetap memaksakan merokok. Lalu aku liatin aja itu orang. Lama-lama doi ga enak juga, akhirnya dimatikan lah itu rokok. Good.
Tapi kok ternyata masih terasa bau rokok. Lalu aku coba menengok ke belakang. Karena tempat aku berdiri di dalam bis penuh sesak, maka aku agak sulit untuk melihat orang tsb. Lagi pula, dalam benakku hanya ada satu pikiran yaitu aku harus waspada terhadap tasku. Singkatnya akhirnya aku menemukan sosok orang tsb. Pertama aku hanya liatin aja orang itu. Terus dan terus. Tapi ga ada respon. Rokoknya tetap nempel di bibir mulutnya, menyala. Padahal di depan orang tsb, juga berdiri penumpang lain yang kepalanya or rambutnya sangat mungkin tersundut oleh rokok orang itu. Keseeeellll banget. Aku hanya bisa pasrah. Tapi tiba-tiba, mukaku diserbu oleh abu rokok orang itu. Maklum, kaca-kaca bis terbuka dengan sangat anggunnya. Wah, naik pitamlah diriku. Tapi aku mencoba untuk tetap elegan dalam menegur orang tsb. “Pak, bisa minta tolong dimatikan dulu rokoknya?” lalu orang tsb bertanya dengan mulut yang tertutup karena mempertahankan rokoknya. “Kenapa?’, katanya. Aku ulangi lagi pertanyaanku. Jawabannya bener-bener bikin gue gemeteran. Gemeteran karena menahan keseeelll. Dia menjawab. “Susah! Lagian kan ga dikebulin”. Maksudnya ga ada asapnya barangkali. Gemezzz banget. Tapi masih tetap dengan menahan emosi jiwa dan berusaha untuk tetap elegan, aku membalas. “Tapi abu rokoknya kena ke muka saya pak”. Lalu jawabnya, “ooo”. Kemudian mematikan rokoknya. Grrrr..
Setelah aku turun dari kopaja, bapak itu masih mengamat-amati diriku. Takut juga sih. Sambil terus berdoa, aku cepat-cepat melarikan diri untuk ganti ke angkot berikutnya. Fyuuuhhh..here I am now. Lega udah sampai di rumah.
Yang mengganjal pikiranku adalah, apakah berhubungan dengan rokok dan menjadi pemujanya itu, menjadikan orang tumpul hati, ga punya hati nurani, ga punya perasaan, menindas hak asasi orang lain, egois. Sampai-sampai di situasi dan kondisi yang sudah sedemikian padatnya. Yang untuk cari oksigen diantara manusia-manusia di dalam bis kota saja sudah sulit, harus ditambah pula dengan asap dan sisa pembakaran dari perokok. Please deh. Sepertinya orang-orang perokok itu takut kalau-kalau sekian menit or detik berikutnya mereka akan mati dan tidak bisa merokok sebelum ajalnya. Jadi harus saat ini, detik ini, merokok ya merokok. Hidup rokok!! Ga harus gitu kan?
Mudah-mudahan ga ada yang ketiga kali deh. Karena sebelum kejadian mukaku tertebar abu rokok, aku juga pernah tersundut api rokok di bis karena perokok itu memegang rokok yang menyala, lalu aku harus berpegangan yang ternyata api rokoknya jatuh di tanganku. Sedih banget ya. Kesel banget ya.
Sadarlah hai para perokok. Merokoklah pada tempatnya. Hormati orang lain.

No comments: